Kamis, 10 Februari 2011

Oeroeg

Category:Books
Genre: Other
Author:Hella S. Haasse
Oeroeg


My rating: 4 of 5 stars

Awalnya benakku mengatakan bahwa buku ini hanyalah ‘bayang-bayang’ dari kisah Pulau Buru karya PAT. Bersetting sama, yaitu jaman penjajahan Belanda di Indonesia; dan berlatar belakang konflik yang sama, yaitu mengenai perbedaan kelas sosial antara jalinan persahabatan anak muda kelahiran Belanda dengan anak pribumi. Apalagi melihat jumlah lembar novel ini yang terbilang tipis, aku berpikir “apakah yang dapat Hella berikan pada para penikmat novel?”

Namun aku tergerak untuk membelinya karena diskusi buku ini begitu panjang di sebuah thread komunitas Goodreads Indonesia. Sejujurnya, sampai sekarang aku tak tahu apa yang mereka diskusikan sebab belum pernah kubaca thread itu. Hanya saja aku tahu diskusi berlangsung cukup lama dan panjang, karena judul threadnya selalu berada di top topic pada saat bulan baca bersama OEROEG berlangsung.

Kini semua yang kupikirkan pada paragraf pertama buyar sudah. Bisa kubilang novel tipis dengan ukuran cetak huruf cukup besar ini masuk dalam kategori ‘buku dahsyat’. Bukan sekedar ‘bayang-bayang’ Pulau Buru, tapi sejajar dan sekelas dengan PAT. Ya iya lah, ternyata Hella sering menerima penghargaan sastra. Hehehe… Baru bisa bilang: “betapa sempitnya pikiranku kala itu”.

Jadi apa kedahsyatan buku ini menurutku?
1. Hanya dalam lembar terbatas, Helen bisa bercerita kisah kehidupan sang tokoh semenjak ia lahir hingga berumur 20-an, dengan pengalaman hidup yang padat dan kompleks
2. Sudut pandang yang Hella ambil adalah dari tokoh anak Belanda, inilah kali pertamanya aku membaca novel sosial politik dari sudut pandang tersebut.
3. Novel ini mengemukakan bahwa anak-anak, apapun latar belakangnya, tetap membutuhkan kasih sayang dan perhatian. Mereka akan lebih menghargai persahabatan yang tulus, sebagai pelarian dari kehidupan rumah tangga yang berantakan.
4. Cerita yang tidak cukup happy ending ini bagaimanapun terjadi karena kondisi politik yang memang memusingkan anak-anak dan pemuda saat itu. Andaikan saja finalnya sesuai keinginanku, happy ending, maka tak akan menggambarkan keadaan di Indonesia kala penjajah Belanda, yang pasti jadi ceritanya tidak akan tepat dan akurat lagi. Hal ini (sad ending) malah memberikan nilai plus untuk buku ini.
5. Hmm.. alasan yang kelima ini sebenarnya terlalu personal. Itu…. Telaga Hideung yang disebut-sebut dalam buku ini, Hella terinspirasi pada Telaga Warna. Lah kok ya ‘ndilalah’ gambarannya persis seperti lukisan yang tergambar di benakku waktu membaca ceritanya dan belum membaca bocoran dari Helen ya? Hihihi… ga penting deh. :D

Conclusion! Buku yang layak dibeli & dikoleksi, karena kisahnya mengangkat arti cinta kasih - kekeluargaan - persahabatan dengan latar belakang perang - penindasan kelas sosial kecil – ekonomi – politik. Yup, OEROEG bukan ‘bayang-bayang’nya Pulau Buru. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar