Senin, 06 Agustus 2012

Soegija 100% Indonesia

Buku ini menjawab pertanyaanku yang muncul saat berita bahwa film SOEGIJA akan ditayangkan di bioskop awal Juni 2012 lalu. Apakah publik akan mengerti tentang tradisi Katolik yang menjadi latar film ini? Bagaimana menjelaskan pada publik bahwa Soegija harus belajar selama kurang lebih 10 tahun terlebih dahulu sebelum ditahbiskan menjadi romo/pastor? Bagaimana caranya menjelaskan hubungan Vatikan dan Gereja Katolik Indonesia? Bisakah pertanyaan-pertanyaan tersebut dan mungkin banyak pertanyaan lain dapat dijawab oleh film SOEGIJA yang berdurasi kurang dari 3 jam?

Beruntung aku sudah banyak membaca info SOEGIJA melalui www.sesawi.net. Tapi kalau tidak? Jika aku non-Katolik dan atau tidak membaca info-info yang terkait dengan film ini, pastilah aku hanya mendapat kepuasan visual, sedikit cerita tentang sejarah Indonesia pada tahun 1940an dan pesan moral tersirat ala sutradara Garin Nugroho. Aku pasti akan bingung dengan alur cerita yang kadang cepat kadang lambat. Cepat saat tokoh Soegija yang menjadi judul film ini muncul, namun malah lambat saat tokoh lain seperti Mariyem muncul. Pasti aku merasa banyak serpihan cerita yang disunat. Tak heran jika kemudian banyak orang termasuk orang tuaku menyangka bahwa Lembaga Sendor Film terlalu kejam hingga memotong banyak bagian dalam film ini. Padahal, Garin sendirilah yang sengaja melakukannya, semata-mata karena SOEGIJA adalah film tentang kemanusiaan dimana peristiwa-peristiwanya berkaitan dengan kehidupan Romo Soegija saat itu. Bukan sebaliknya.

Buku Soegija 100% Indonesia karya Ayu Utami ini dibagi dalam 6 bab berjudulkan tempat atau peristiwa besar, dimana ke-6 bagian tersebut memiliki keterkaitan dengan kehidupan Soegija. Alurnya maju mundur, tapi tidak membuat aku kebingungan membacanya. Soegija kecil kelahiran tanah Jawa awalnya membenci semua orang Belanda yang menjajah tanahnya. Tapi khusus kepada Romo van Lith, kebencian tersebut tidak ada. Romo Belanda yang satu itu amat berbeda. Penuh senyum, perhatian, menggunakan Bahasa Jawa Halus dalam bercakap-cakap dengan semua orang Jawa, tapi juga tegas. Soegija sadar bahwa orang Jawa bisa maju hanya jika mereka berpendidikan seperti orang Belanda. Maka ia pun meminta ijin pada orang tuanya agar diperbolehkan menimba ilmu di sekolah asrama milik Romo van Lith untuk menjadi guru sesuai cita-citanya. Soegija yakin imannya tak akan tergoyahkan oleh ajaran agama Katolik yang diajarkan di sekolah itu.

Banyak yang Soegija pelajari di sana. Tentang kebiasaan berdisiplin dalam hidup asrama, perbedaan agama Kristen Protestan dengan Katolik, dan sebagainya. Ia bahkan kaget saat mengetahui bahwa para Romo tak mendapat uang, hidup selibat dengan tak menikah dan tak memiliki harta duniawi agar pelayanan mereka fokus kepada Allah dan sesama. Pengetahuan itu dan beberapa alasan lain membuat Soegija mulai penasaran dan ingin mengetahui lebih banyak tentang agama Katolik. Ia pun minta ijin untuk diikutkan dalam pelajaran agama Katolik. Setelah beberapa lama, dia minta dibabtis oleh Pater Martens dan seiring waktu bahkan ia memutuskan menjadi Pastor. Kebesaran hati orang tuanya dalam menerima semua keputusan Soegija patut diacungi jempol. Mereka percaya bahwa semua agama baik jika dijalankan dengan benar dan mengubah manusia yang menjalankannya menjadi baik.

Maka dimulailah penempaan diri Soegija dengan dikirim belajar ke negeri Belanda selama bertahun-tahun sebelum resmi diangkat menjadi Pastor. Walau belajar di negeri orang, kecintaannya pada Indonesia tetap kuat. Ia selalu menjalin hubungan silahturahmi dengan para pejuang dan pejabat atau pemimpin perjuangan Indonesia kala itu. Moh.Hatta, I.J.Kasimo yang adik kelasnya tapi memutuskan tetap menjadi awam, Presiden Soekarno, Panglima Besar Jendral Soedirman, Soeharto, Adisucipto, Ign.Slamet Riyadi dan lain lain sedikit banyak juga berhubungan dengan Romo Kanjeng ini. Hingga akhirnya Ia ditunjuk oleh Paus di Vatikan untuk menjadi Uskup dari Keuskupan Agung Semarang, Soegija pun tetap memperhatikan semua orang tanpa memandang agama, suku dan ras-nya.

Ia mungkin tak memanggul senjata, tapi ia berjuang demi Indonesia di meja negosiasi. Ia menggagalkan perampasan Gedung Gereja yang menjadi tempat ibadah dan tempat berlindung para umat dan rakyat untuk dijadikan gudang persenjataan Jepang. Ia mengusahakan gencatan senjata tentara Jepang sebelum NICA datang ke Indonesia. Ia menggagalkan pembantaian besar-besaran pada pejuang Indonesia, yang sedianya akan dilakukan oleh tentara Jepang yang malu dan marah karena kekalahan mereka. Ia mengutamakan kebutuhan sandang pangan masyarakat kecil di atas kebutuhan hidup para Romo. Mengontak Batavia untuk segera mengirim perwakilannya yang dapat memimpin rakyat yang kocar-kacir tanpa pemimpin setelah Jepang pergi dari tanah Jawa. Bahkan Soegija berhasil membuat Vatikan menjadi negara pertama di dunia yang mengakui kedaulatan negara Indonesia.

Hingga akhirnya Ia harus menghembuskan nafas terakhir di Belanda karena sakit dalam persiapannya menghadapi Konsili Vatikan, Ia masih saja memikirkan bangsanya. Ia pun dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Giri Tunggal Semarang atas pemintaan Presiden Soekarno dan memberinya gelar Tokoh Nasional dan Jenderal Anumerta. Soegijapranoto adalah Pahlawan, yang 100% Katolik dan 100% Indonesia.

Selain tentang gambaran kebudayaan dan situasi penjajahan Belanda dan Jepang yang terjadi saat itu, Ayu Utami dengan cantik menyisipkan info-info yang berkaitan dengan agama & tradisi Katolik agar cerita tentang film dan kehidupan Soegija menjadi lebih mudah dimengerti. Tentang hierarki Gereja, hubungan umat Katolik dengan Bunda Maria ibunda Yesus, keutamaan fungsi Pastor sebagai gembala dan pelayan umatnya, jenjang pendidikan para calon Pastor, keterkaitannya Soegija dengan politik dan peristiwa yang berhubungan dengan Perang Dunia II saat itu, serta dampak masuknya penjajah Belanda pada kebudayaan, kesehatan dan pendidikan rakyat tanah Jawa.

Ayu Utami menuliskan semuanya itu hanya dalam buku 145 halaman, dengan gaya pop. Coba lihat beberapa kata yang ia tuliskan seperti: tanahair, mataair, omongkosong. Tak menggunakan spasi, aku ga tau apa alasannya, agak mengganggu mataku, tapi mungkin itulah gaya pop masa kini. Ada sedikit typo juga, seperti kalimat di halaman 27 ( Di sana ada kolose milik Ordo Salib Suci, temp bahasa-bahasa Eropa serta adat-istiadat setempat) dan halaman 144 (Hal.101, Pendudukan Belanga, film Soegija).

Maka aku pun berterima kasih pada Ayu Utami yang menulis buku ini dalam waktu 2 minggu, sehingga aku bisa lebih mudah menjelaskan film SOEGIJA pada keluarga dan teman. :)

2 komentar:

  1. Sejujurnya aku malah baru tau tokoh ini sebagai pahlawan nasional. Kemana aja buku-buku pelajaran sejarah zaman sekolahan dulu kok nggak ada bahas beliau ini. *keluh*

    Sangat keliatan kalau pemerintah orba hanya mengedepankan pahlawan yang ada kekuatan perangnya, sementara pahlawan yang ada nilai-nilai sosial masyarakatnya, terkesan 'dipinggirkan'

    anw, aku belum baca buku dan nonton filmnya :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ketika dulu pacaran, aku tahu nama Soegijapranoto karena pacar alumni Unika tsb di Semarang. Yg kutahu, Romo Soegija pernah jadi Uskup di Keuskupan Agung Semarang. Dan baru dari film ini juga aku tahu bahwa dia adalah Pahlawan Nasional. Iya, pahlawan yg ga pegang senjata kurang beken. Beneran salah OrBa atau karena memang ga ada penulis buku sejarah yg tertarik utk memasukkan namanya, ya?

      At least, masukin ke to-read shelf aja, buku ini cukup mutu kok. :D

      Hapus