Kamis, 08 Januari 2015

Terpencil di Pinggiran Jakarta: Satu Abad Umat Katolik Betawi


Beli buku Terpencil di Pinggiran Jakarta: Satu Abad Umat Katolik Betawi ini di toko buku gerejaku, Paroki Kampung Sawah Bekasi, Gereja St.Servatius, bulan Februari 2009. Baru dibacanya akhir Desember 2014. Biasa deh... kan hobinya numpuk buku, bacanya kapan-kapan. Hihihi... Gereja Kampung Sawah ini sendiri merayakan 1 abad-nya pada 1996 yang lalu. Huaa... berarti sekarang usianya udah 119 tahun ya! Kenapa aku beli buku ini? Karena baru 2007 aku pindah ke Paroki Kampung Sawah setelah sebelumnya selama 19 tahun masuk ke Paroki Galaxi Bekasi dan 6 tahun sebelumnya lagi masuk ke Paroki Cililitan Jakarta Timur. Dan selama 25 tahun itu bisa dibilang ga pernah denger klo ada gereja di daerah Bekasi Selatan bagian sini. Isshhh.... ga gaul banget sih! Wkwkwk.... Jadi, beli deh buku ini biar tahu sejarahnya Gereja St.Servatius yang terkenal dengan budaya Betawi-nya. :)


Iya, bangga bisa jadi bagian Paroki Kampung Sawah yang masih menjaga nilai-nilai budaya Betawi ini. Beda dengan Betawi Jakarta yang mengubah huruf a menjadi e, kalau Betawi Kampung Sawah tetap menggunakan vokal a. Misalnya kata 'gue' di Betawi Jakarta, sementara di Betawi Kampung Sawah adalah 'gua'. Yang menarik lagi, ada beberapa orang tua pria yang selalu kelihatan di Misa mengenakan kopiah ber-pin khusus, kemeja & celana panjang Betawi hitam dan sarung kota-kotak merah ungu. Mereka biasanya mengantar 'rombongan' petugas liturgi beserta Romo masuk ke gereja, mengantar petugas persembahan maju ke depan altar, ikut berlutut saat Doa Syukur Agung di bagian depan altar dan juga mengantar pulang 'rombongan' petugas liturgi beserta Romo kembali ke ruang sakristi setelah misa selesai. Ondel-ondel dan tarian Jaipong? Ada tuh boneka ondel-ondel di depan pintu masuk pada saat-saat tertentu seperti pesta ulang tahun gereja atau saat hari Sedekah Bumi. Sementara pada saat-saat tertentu juga, gadis-gadis muda sekitar usia SD hingga SMU meramaikan persembahan saat misa dengan tarian Jaipongnya. Seneng lihatnya :D

Eh kenapa aku malah sibuk cerita tentang Gereja Kampung Sawah bukannya cerita tentang buku Terpencil di Pinggiran Jakarta: Satu Abad Umat Katolik Betawi ini? Hihihi... maaf... mari kita kembali ke topik awal. :D Baiklah... yang menulis buku ini adalah Romo Kurris, SJ. Beliau sendiri menjadi pastor kepala paroki mulai 1993 hingga ... aku ga tau sampai kapan Romo Kurris bertugas di Kampung Sawah. Yang jelas, aku masuk 2007 itu, udah ga ada Romo Kurris. Hehe...

Buku ini memang buku sejarah Gereja Paroki Kampung Sawah sejak awal. Mulai dari tahun 1896 di jaman penjajahan Belanda hingga 1996 saat hendak merayakan hari jadinya ke 100. Iya, tahun 1896 itu sudah ada beberapa penduduk yang bergabung menjadi Katolik. Sedihnya, berpuluh-puluh tahun perjalanan gereja ini, grafik perkembangannya naik turun. Ini disebabkan karena lokasinya yang jauh dari Jakarta, terpencil dan perjalanan menuju ke lokasi ini pun tak menyenangkan. Jalanan tanah berbecek kerap harus dihadapi Romo yang ditugaskan dari paroki lain untuk melayani umat Katolik di sini. Penduduk yang terpencil ini pun kurang mendapat perhatian dari pemerintah sehingga kemajuan jaman dan pendidikan kurang baik. Sayangnya lagi, pihak Keuskupan Agung Jakarta, saat itu masih dengan nama Vikariat Batavia juga seperti tak terlalu serius membina domba-domba di Kampung Sawah. Jadilah jarang banget dikirim Romo ke sini, dan tercatat cuma 2 atau 3 Romo yang akhirnya menetap di sini dalam jangka waktu beberapa saat. Kebayang ga, ibaratnya murid yang pengetahuannya masih 0, jarang ditengokin & diajarin gurunya, ya carut marut lah ya. Ga heran, jumlah umat Katolik Kampung Sawah pada awal-awalnya naik turun. Kadang ada yang pindah ke gereja Protestan karena ga tau apa bedanya antara Protestan dengan Katolik. Tapi untunglah, akhirnya mulai tahun 1980-1990an, Kampung Sawah mulai kenal aspal sehingga informasi & kemajuan jaman mulai masuk & membantu perkembangan iman umat di sini.

Kemajuan paling menyenangkan saat Romo Kurris berhasil memimpin pembangunan bangunan gereja yang lebih kokoh, dibantu oleh beberapa insinyur yang mumpuni dan bahkan dibantu oleh seniman Gregorius Siddharta yang karyanya sudah terkenal hampir di seluruh dunia pula! Oya, per 1996 itu pun nama Paroki berubah. Yang tadinya St. Antonius Padua, berubah menjadi St.Servatius. Kenapa? Karena di Bidara Cina sudah ada nama itu. Dan lagipula, kini Kampung Sawah punya relikwi St.Servatius. Senangnya ^_^

Perjuangan para Babeh & Enyak mempertahankan iman & gereja Kampung Sawah dengan budaya Betawinya amat sangat patut diacungi jempol. Walau per-1996 itu jumlah umat terbesar adalah dari suku Jawa, disusul Betawi Kampung Sawah, NTT, Batak, Tionghoa, Sunda & Betawi non Kampung Sawah, Maluku & suku-suku lainnya, tapi mereka tetap setia pada budaya Betawi di kehidupan gereja sehari-hari. Eh, bukan berarti ga ada kesempatan bagi suku lain merayakan budayanya ya. Kadang ada juga kok Misa ala Tionghoa saat Imlek, misa inkulturasi Jawa, NTT, Batak, dll.

Ya udin, jadi kalau mau tahu perjalanan sejarah Gereja Betawi Kampung Sawah mulai dari jaman Belanda, Jepang (ini bagian yg paling sedih), jaman kemerdekaan hingga tahun 1996 saat pesta seabadnya, silahkan baca buku ini yaaa :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar