Selasa, 26 April 2011

Bumi Manusia

Category:Books
Genre: Romance
Author:Pramudya Ananta Toer
Bumi Manusia

rating: 4 of 5 stars
read: Dec 8, '08


8 Dec 2008, kututup novel Bumi Manusia yang selama beberapa minggu ini kubaca. Masih dengan tertegun karena endingnya menyisakan kejadian lain yang menggelitik untuk harus terus kubaca melalui novel Ananta Toer berikutnya, demi terpuaskan raga ini. Terjawab sudah mengapa banyak teman yang begitu menyukai buku ini, bahkan banyak penghargaan disematkan untuknya.

Kisah yang diangkat mengambil setting kehidupan Hindia (Indonesia dahulu) di kala masih di bawah kekuasaan kompeni Belanda. Dimana status sosial, Kulit Putih/Eropa totok berada di puncak tampuk kekuasaan, bahkan dibedakan perlakuannya dibanding golongan keturunan/indo, dan tentu saja Pribumi menjadi alas kaki bagi mereka. Pribumi terinjak karena kurang pendidikan & tidak banyak melawan karena tak punya cukup mental baja.

Tentu saja hal itu dialami oleh semua pribumi, kecuali Minke, sang tokoh utama, yang berkesempatan menikmati didikan ala Eropa karena sang Ayah adalah seorang Bupati. Kehidupan Minke yang tenang mulai bergolak setelah mengenal Annelis, indo, yang cantik jelita, pintar bekerja membantu berputarnya roda perusahaan, namun bermental seperti anak kecil karena keadaan keluarga yang jauh dari sempurna.

Annelis, anak kedua dan putri pertama dari pasangan Tuan Mallema, seorang Eropa, dengan Nyai Ontosoroh, probumi yang menjadi gundik Tuan Mallema. Tuan Mallema awalnya sangat terpuji dan baik memperlakukan Nyai Ontosoroh, dengan mengajarkan membaca, berbicara & menulis Bahasa Belanda dan banyak pengetahuan umum lainnya. Didikan itu sekaligus membuat Nyai menjadi pribadi yang keras pada diri sendiri & keluarganya, setelah Tuan Mallema mulai limbung setelah anak aslinya, anak dari perkawinan syahnya di Belanda, datang dan mengancam segala hal pada Tuan Mallema.

Polemik yang menarik pada roman ini, membuatku teringat pada beberapa point penting yang dapat kuambil. Jangan mudah percaya omongan orang lain sampai kita melihat/merasakannya sendiri dari sudut pandang netral. Jangan mudah menyerah & lembek pada kerasnya kehidupan, bahkan sekalipun kita tahu bahwa buah pahit yang akan kita telan. Kalah dengan terhormat lebih baik daripada menyerah, seperti semangat para pejuang Aceh kala dulu melawan kompeni.

Thanks to Fara yang memaksa saya membaca novel ini… begitu bodoh kalau saat itu saya menolak pinjamannya hanya karena temanya begitu Indonesia.

Akhirnya… siapa yang mau pinjemin aku novel Anak Semua Bangsa, ya?? Penasaran sama nasib Minke – Nyai – Annelis berikutnya nih… :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar